Kedua peristiwa itu dialami Elis saat dia bersama keluarga tinggal di Kuching, ibukota negara bagian Serawak, Malaysia. Dengan bantuan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Kuching, Elis hari ini bisa pulang ke tanah air. Setiba di Jakarta, Elis berencana berangkat menuju kampung halamannya di Bantaeng, Sulawesi Selatan, untuk bertemu kembali dengan anak-anaknya yang sudah lebih dulu pulang.
Sementara itu, anak keempatnya, Muhammad Nurrisman, yang berusia sembilan bulan terus menangis di gendongan Elis, mungkin karena kaget melihat begitu banyak orang yang melihat mereka saat menyambangi Kementrian Luar Negeri Indonesia di Jakarta, Rabu 20 Oktober 2010. Nurrisman dilahirkan Elis di penjara Serawak saat dia menjalani penahanan selama proses penyidikan kematian suaminya.
Elis dituduh telah membunuh suaminya sendiri di rumahnya pada 20 Mei 2009. Tuduhan mengarah langsung kepada Elis karena suaminya dianggap mengalami kematian tidak wajar dan Elis adalah satu-satunya orang yang berada di rumah saat suaminya meninggal.
Di Malaysia, tuduhan seperti itu biasa dialamatkan kepada seseorang jika yang bersangkutan hanya berdua bersama dengan orang yang mati di dalam rumah. Menurut pejabat Direktorat Perlindungan WNI dan Badan Hukum dari Kementrian Luar Negeri (Kemlu) RI, Fachri Sulaeman, sesuai tradisi hukum negara persemakmuran, seseorang yang mati di rumah disebut sebagai kematian yang tidak wajar.
“Karena dia satu-satunya yang berada di rumah, maka dia dianggap mengetahui sebab kematian suaminya, atau dia yang membunuhnya,” ujar Sulaeman.
Jika dalam penyidikan polisi ditemukan bahwa Elis terbukti bersalah, maka menurut undang-undang hukum pidana Malaysia, terdakwa akan diancam hukuman gantung. Itulah sebabnya pada 3 Juni 2009 Elis ditahan polisi untuk menjalani proses penyidikan.
Sulaeman mengatakan bahwa KJRI di Kuching yang mendapatkan informasi ini langsung melakukan pengawasan dan pendampingan dengan sekuat tenaga. Sejak Elis ditahan, terdapat tujuh kali proses peradilan yang cukup ketat. Proses ini diantaranya adalah meminta keterangan dari para saksi.
“Elis didampingi oleh pengacara pro-bono dari Malaysia serta pengacara dari KJRI untuk memonitor kasusnya,” ujar Sulaeman.
Elis dibebaskan setelah laporan visum jasad suaminya yang dibongkar dari kubur pada tanggal 22 Juni 2009 tidak menunjukkan bukti-bukti adanya tindak kekerasan yang mengarah kepada kematian. Elis akhirnya dibebaskan dan dikembalikan ke tanah air.
Staf KJRI Kuching, Hendra Wirawan, mengatakan bahwa kasus yang menimpa Elis itu penuh keragu-raguan. Hendra mengatakan bahwa sejak awal KJRI telah merasakan banyaknya kelemahan hukum pada kasus ini.
“Kami melihat banyak celah-celah kelemahan pada kasus ini. Lalu kami memanfaatkan celah-celah ini pada proses pendampingan hukum saudari Elis,” ujar Hendra.
“Pada kecurigaan awal ini, Elis ditahan oleh polisi. Lalu pada tanggal 22 Juni kuburan suaminya dibongkar untuk dilakukan otopsi,” lanjut Hendra.
Langkah selanjutnya yang dilakukan KJRI, ujar Hendrawan, adalah melakukan pendekatan kepada polisi dan jaksa selama proses pengadilan. Pengadilan Malaysia juga menyediakan pengacara pro-bono bagi Elis yang sangat membantu proses pembebasan.
Hendra menyayangkan kelemahan polisi Malaysia yang sempat terlambat dalam mengidentifikasi korban, yang membuat kasusnya berlarut-larut. “Kami terus menanyakan tuduhan apa yang diberikan kepada saudari Elis dan mencari celah kelemahan hukumnya,” ujar Hendra.
Hasil otopsi dokter patologi bahwa tidak terdapat bukti-bukti pembunuhan pada Asman. Menurut Hendra, otopsi ini mementahkan dugaan awal polisi Asman diracun atau dicekik hingga mati. “Tidak ditemukan bekas-bekas pupuk kelapa sawit yang diduga digunakan untuk meracuni korban, maupun bekas cekikan yang menewaskan korban,” ujar Hendra.
Berdasarkan hasil otopsi tersebut, suami Elis dinyatakan tidak dibunuh dan penyebab kematiannya tidak diketahui. Namun, menurut Elis, suaminya mempunyai sejarah serangan asma. Penyakit ini diduga penyebab kematian Asman. "Jika penyakitnya kambuh, dia tidak bisa bernafas," ujar Elis singkat.
Elis dan Asman bekerja sebagai buruh perkebunan kelapa sawit di Kuching. Menjadi buruh kelapa sawit adalah profesi yang paling banyak dilakukan oleh pekerja migran asal Indonesia di wilayah itu.
sumber : VIVAnews